Jumat, 21 Oktober 2011

cerpen


Naluri Maling

HANYA karena aku mencuri seekor ayam milik tetangga, takdir telah mengusirku dari kampung. Begitu kejam hidup ini. Benar apa yang dikatakan nenek sebelum ia meninggal bahwa hidup kejam dan sadis, akan menghukum siapa saja tanpa pandang bulu. Hidup lebih memandang sebuah kesalahan daripada seikat kebenaran. Tanpa kompromi, egois dan begitu tragis. Memandang permasalahan dengan sebelah mata, pikir yang tak jernih dan segudang benci yang meledak-ledak.
 Setelah aku babak belur dihakimi orang se-RT, ayahku pun tak bisa menyembunyikan rasa kesal dan marahnya. Makian dan cemoohan yang semakin keras memekakan telinga. Terucap dengan suara yang berat dan tak seperti biasanya, "minggat dan jangan pernah kembali!" kehormatan keluarga telah tercoreng oleh ulahku yang kurang ajar. Apapun alasan yang aku kemukan tidak akan dapat mematahkan kegeraman ayah. " Daripada kita makan hasil curian lebih baik kita mati dalam keadaan lapar, biar kita miskin tapi kita masih punya nurani dan harga diri" Hardikan ayahku yang terakhir ku dengar. Hanya menangis yang emak bisa, sambil mengemasi tas lusuh yang di penuhi pakaian sekedarnya. Tangisan emak, rengekan kedua adikku dan dakwaan orang se-RT menjadi lagu perpisahan diantara aku dan mereka.
Lembayung berwarna jingga mengantarkan kepergianku, tangisan emak yang semakin menjadi diterbangkan angin memapah langkah yang tak tentu arah. Langit menghamparkan takdir yang tak bisa kutawar, mengiringi cerita yang baru saja berlangsung antara aku, bapak emak, adik-adikku, dan orang se-RT. Matahari mulai malu, bersembunyi menutupi dirinya dengan jubah malam yang sebentar lagi akan datang. Sesekali mataku masih melihat kearah emak yang terus memandangi kepergianku. Tangisannya adalah kasih sayang yang terus meraksuk ke dalam tubuh. Sampai pada lambaian terakhir sebelum malam mengkaburkan semuanya.
Tak terdengar lagi tangisan sejadi-jadinya emak, hardikan bapak, rengekan adikku dan teriakan orang se-RT. Semua telah raib ditelan jarak. Tak terbersit tujuan di benakku, dan akupun menyerahkannya pada kakiku yang akan sudi melangkahkannya. Aku tahu bahwa kakiku akan mencipta jejak dan mengukir langkah. Aku pun terus berjalan tanpa henti menghitung jarak yang tak terukur.
Lelah mulai menggerayangi sekujur tubuhku. Keringat membasahi baju biru bercampur dengan noda merah darah akibat pukulan dan tempelengan orang-orang yang sempat bersarang di bagian mukaku. Hanya berbantalkan tas yang berisi beberapa helai pakaian, aku terbaring di emperan toko siap terlelap dan arungi mimpi. Melupakan apa yang sudah terjadi. Tangisan dan tetesan air mata emak menjadi dongeng yang meninabobokanku. Angin menyapu tubuhku, kegelapan menenggelamkanku dan karam bersama suara binatang jalang yang terdengar sahdu. Mengakhiri cerita hari ini.***
Mentari mulai menyentuh embun, semburat warna emas melintas di ufuk timur, menapaki tangga, menembus setiap sudut kota yang mulai ramai dengan hirup pikuk manusia. Aku menggeliat, membuka mata walau masih terkantuk. Kuhirup udara pagi yang begitu berbeda dengan udara pagi di kampungku. Gumam-gumam orang-orang, deru dan asap kendaraan hilir mudik menyapaku dengan sedikit asing. Sebuah pemandangan yang jarang ku lihat dimana ku awali pagi dengan orang-orang yang tak ku kenal, tanpa sapa dan tiada tanya. Hanya makian pemilik toko yang berani menyapa walau kurasakan kasar yang nyaris menyiramku dengan segayung air. Berbeda dengan elusan dan kata-kata halus emak ketika membangunkan dan menyuruhku shalat subuh walau kadang tak kulaksanakan.
Aku pun kembali melanjutkan perjalanan, menyambung cerita yang terhenti sejenak dan membuat episode baru. Aku berjalan melewati trotoar jalan yang mulai ramai oleh orang yang hilir mudik. Hari berjalan dengan semestinya, membimbing siapa saja yang bergerak maju, mencari, mengumpulkan, dan mengolah untuk kemudian menikmati karunia yang telah ditetapkan yang Maha punya segala. Tak terkecuali diriku, waktu berbisik di telingaku, berkata lembut dan lirih. Bahwa hari sudah merangkak siang dan perut mulai minta haknya dipenuhi. Aku sempat kebingungan karena tak sepeserpun uang yang sempat emak berikan kepadaku. Perutku semakin rewel dan merengek. Aku mulai tak tega mendengar gerutunya.
Mulailah aku meminta-minta. Mengharap belas kasihan. Kuhampiri setiap orang, masuk keluar warung, toko, dan rumah. Semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Menata setiap detak jarum jam dengan sesuatu yang lebih berharga daripada mendengar rengekan peminta-minta atau tepatnya pemalas. “Masih muda sudah malas gimana tuanya nanti dasar pemala” Begitu kira-kira kata yang sempat terlontar dari piciknya mata orang-orang ketika memandangku.
Matahari semakin meninggi menggenapkan derajat, mengambil posisi sempurna tepat di atas kepala. Entah sudah berapa langkah yang sudah ku papah? Sudah berapa jejak yang sudah dikarya sendal jepitku? Mataku mulai sayu, pandangan mulai memburam dan kabur. Tangan dan lututku lemas dan gemetar, menggelepar menahan lapar. Tidak kudapatkan rezekiku yang Kau titipkan melalui semua orang. Aku hanya mendapatkan kesombongan, keangkuhan, tidak peduli dan tak mau tahu tentang nasibku.
"Pergi…! jangan mengemis di sini"
"Kalau tidak punya duit jangan makan di sini gak ada yang gratis"
"Minta, beli! Memangnya milik mbahmu apa"
"Ah, dasar pemalas, masih kuat sudah malas"
Pahit rasanya lebih dari empedu, kata-kata semua orang yang sempat terdengar dengar rasa lapar yang menjadi-jadi. Aku mulai kalut, pikiran tak jernih lagi. Yang tersisa hanya lintasan pikiran mencari solusi untuk mendamaikan perut yang semakin berkecamuk. Naluriku mulai menawarkan sesuatu. Maling, maling, dan maling lagi! Kali ini tidak akan ketahuan. Penjaga toko sedang sibuk melayani pembeli, dia tidak melihatmu. Ayo beraksi kasian perutmu sudah kelaparan. Mataku mulai nanar dan berair dihimpit rasa lapar yang tak bisa dikompromikan lagi. Ku tatap makanan yang begitu menggoda memberikan aku nafsu makan yang tidak seperti biasanya. Ah, daripada aku kelaparan lebih baik aku….mudah-mudahan orang tidak melihatku kali ini. Aku hanya maling sedikit saja sekedar menambal bagian perut yang kosong.
Dan mulailah aku beraksi seperti dalam film-film laga produk amrik. Secepat kilat aku sudah mengantongi bebarapa bungkus makanan dan dua botol minuman segar. Namun sial, seorang penjaga toko memergokiku dan berteriak keras "maling, maling, maling!" suasana pun menjadi ramai, aku tak sempat melarikan diri dari sergapan dan pukulan yang mendarat mulus di tubuhku. Tak sempat aku menghitung berapa bogem mentah yang mampir di bagian muka. Aku rebah mencium lantai toko. Untung seorang petugas keamanan pasar datang membelah kerumunan. Petugas itu membawaku ke pos yang diikuti pemilik dan pelayan toko yang pertama melihatku. Petugas mulai mengintrogasiku dengan berbagai pertanyaan yang terus menyudutkanku dan tak sempat aku membela diri. Apalagi pemilik toko yang terus memberondongiku dengan beragam cacian dan minta ganti rugi.
Seorang bapak separuh baya datang. Ia bertanya kepada orang yang berkerumun kemudian masuk ke dalam pos. Ia mendamaikan semuanya. Membela dan menyelamatkanku. Mengganti kerugian kepada pemilik toko dan menyumbat mulut petugas keamanan dengan sedikit itungan rupiah, lumayan lah untuk membuat dapur berasap dan jajan anak-anaknya. Urusan pun selesai, tidak jadi diserahkan ke pihak berwajib.***
Jasa yang diberikan Uwak sebutan pak Hans, begitu besar bagiku. Tak terbayang nasibku kalau tak ada dia. Ia menolong, menyelamatkan dan terlebih ia memberikanku pekerjaan. Aku menjadi penjaga toko emasnya. Setelah sekian lama, kepercayaan Uwak semakin meningkat dan tak ayal lagi, aku kini menjadi tangan kanannya dalam setiap urusan yang berkaitan dengan toko. Uwak begitu gembira, ia menganggapku bukan siapa-siapa lagi, seperti anaknya sendiri, terlebih ia tak memiliki anak.
Hidupku semakin mapan. Aku merasa keberatan ketika Uwak menyuruhku tinggal di rumahnya. Aku lebih memilih ngontrak sebuah rumah yang tak begitu jauh dari rumahnya. Aku ingin bebas, penghasilanku sudah lebih dari cukup untuk ukuran seorang bujangan yang tak memiliki beban yang berarti. Tak ada yang kupikirkan dalam hidup ini kecuali bagaimana aku bisa hidup lebih mapan, banyak harta dan memenuhi keinginan apa saja. Semangat untuk terus mengejar harta menggelora ketika aku teringat masa pahit dulu. Aku diusir dari kampung, dihakimi orang di pasar, dan hampir mati dihimpit lapar
Suatu saat Uwak mengundangku ke rumah untuk memperkenalkan aku dengan rekan bisnisnya. Ia memintaku untuk mengurus segalanya, karena ia akan pergi ke kampung halaman menjenguk ibunya yang sakit parah. Setelah aku mengantarkan Uwak ke bandara, aku menemui rekan bisnis di rumah Uwak untuk membicarakan kelanjutan bisnis. Uwak menyarankan untuk mengadakan kesepakatan di rumahnya dengan pertimbangan bahwa kelengkapan administrasi ada di rumahnya. Dalam waktu yang lumayan lama kesepakatan antara aku dan rekan bisnis telah tercapai. Ia pun berpamitan untuk pulang.
Sesuatu bergelayut di benakku. Naluri malingku muncul kembali. Hatiku bergumam bahwa aku harus lebih dari Uwak, memiliki kekayaan yang melimpah. Dengan siasat yang tak lama ku pikirkan aku mulai beraksi, terlebih hanya dua pembantu Uwak yang tak tahu apa-apa yang kini kuhadapi. Aksiku lebih mudah. Dalam hitungan menit jarum jam aku sudah mengumpulkan seluruh  berkas dan barang berharga. Aksiku berjalan mulus sesuai rencana, setelah keesokan harinya aku dapat menggondol seluruh isi toko tanpa ada hambatan berarti.
Untuk mencari pembeli barang-barang yang telah ku dapatkan, adalah perkara yang tidak susah bagiku. Aku telah menjadikan barang-barang tersebut menjadi beberapa digit rupiah dan memanifestasikannya di Bank. Dalam waktu singkat aku sudah di kenal oleh para pembisnis. Seoarang pembisnis yang baru saja ku kenal mengundangku makan malam dan sedikit ngobrol tentang bisnis. Ngobrol urusan bisnis adalah makanan sehari-hari, sedikit banyak aku dapat menyerap ilmu yang Uwak berikan. Klien bisnisku terlampau percaya kepadaku. Setelah aku beralasan cukup rasional, aku diperbolehkan untuk menginap di rumahnya. Pelayanan di rumahnya cukup memuaskan, maklum aku sudah dikenal sebagai pembisnis handal. Mengobrol denganku adalah sebuah kehormatan bagi semua pembisnis. Waktu semakin larut, sang tuan rumah mempersilahkanku untuk beristirahat di kamar yang sudah di sediakan.
Aku tak pernah mengerti, naluri malingku muncul dengan tiba-tiba. Jangan bilang maling kelas berat kalau aku tak bisa membuka berangkas berisi arsip dan barang-barang berharga.  Seperti biasa, dalam waktu singkat aku sudah menggaruk barang yang penting ketika pemiliknya tertidur pulas. Seisi rumah seakan terlena dengan mimpi indah, dan dininabobokan rintik hujan yang sempat tumpah dari langit malam itu. Akupun melenggang bebas dengan mobil yang ku kendarai. Mobilku meluncur mulus, melewati jalanan sepi dan aku pun berhasil.
Lewat kepiawaian, siasat, dan naluri malingku yang hebat aku telah menjelma seorang yang kaya raya. Kekayaanku berlimpah dan lebih banyak daripada yang dimiliki oleh Uwak dan para pembisnis lain.
Banyak pelajaran yang berharga ku dapatkan dalam perjalanan hidup ini. Setelah aku memulai karirku sebagai maling kelas coro, kini aku sudah menjadi maling profesional dan raja maling yang nalurinya maling. Tak pernah aku mendapatkan kembali cemoohan, teriakan, apalagi pukulan yang sering membuatku KO. Namaku bersih, tak pernah tersentuh hukum.  Borgol dan penjara seakan tak mengenaliku. Semuanya adem ayem, tutup mulut. Terlebih semuanya bisa kita atur dengan jumlah nominal yang kita tawarkan. Aku berkuasa, aku memiliki segalanya dan aku segalanya. Ha.. Ha..ha.![]
Cianjur, 09 Mei 06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar